Perang besar di kawasan Asia diramal bakal pecah. Tapi bukan terkait Taiwan, melainkan wilayah di dekat RI.
Wilayah ini adalah Laut China Selatan (LCS). Dua negara menjadi pemicunya, tak lain adalah Amerika Serikat (AS) dan China.
Hal ini dikatakan seorang kolonel Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) Zhuo Bo. Ia yang juga rekan senior https://dwslot88apk.com/ Pusat Keamanan dan Strategi Internasional di Universitas Tsinghua Beijing itu, mengatakannya dalam sebuah wawancara eksklusif, sebagaimana dimuat Japan Times, dikutip Jumat (12/5/2023).
“Sementara perhatian telah sangat terfokus pada Selat Taiwan sebagai tempat yang paling mungkin untuk meletusnya perang AS-China, percikan konflik dapat dinyalakan di tempat lain sama sekali,” tulis media itu mengutip wawancaranya.
“Dengan pertemuan berbahaya di laut dan di udara yang meningkat, konflik lebih mungkin dipicu oleh kecelakaan atau salah perhitungan di Laut China Selatan yang semakin termiliterisasi,” tegasnya memantau situasi terkini.
“Kecelakaan” ini tegasnya, tak mungkin terjadi di Taiwan. Mengingat “tingkat pengawasan tinggi” diterapkan pada setiap kata yang diucapkan dan setiap tindakan yang diambil oleh masing-masing pihak yang bertikai.
“Ini tidak terjadi di Laut Cina Selatan, di mana AS, kapal serta pesawat militer sekutu dikerahkan secara teratur untuk menantang klaim China di wilayah tersebut, terutama di rantai pulau Spratly dan Paracel,” ujarnya lagi masih dikutip laman yang sama.
“Tantangan nyata bagi China dan AS. bukan untuk menghindari Perang Dingin baru, tetapi menghindari konflik yang kemungkinan besar dipicu oleh kecelakaan,” tegasnya.
Untuk menyoroti betapa berbahayanya Laut China Selatan sekarang, pakar PLA itu juga menunjuk sebuah insiden pada akhir Desember. Di mana sebuah jet tempur China dan sebuah pesawat AS hanya dalam jarak 3 meter satu sama lain di atas Laut Cina Selatan, nyaris bertabrakan.
Pada saat itu, kedua belah pihak memperdebatkan manuver yang tidak aman, dengan Pentagon berpendapat bahwa RC-135 milik China memprovokasi. Beijing kemudian membalasnya dengan mengatakan AS lah yang berbuat demikian.
“Jumlah pertemuan jarak dekat meningkat, risiko kecelakaan dengan konsekuensi potensial juga meningkat,” ujarnya lagi.
“Kami memiliki aturan perilaku untuk keamanan pertemuan udara dan laut, tetapi kapal dan pesawat Amerika datang untuk menantang kami,” klaimnya.
Diketahui Laut China Selatan kaya akan summer daya alam. Termasuk cadangan migas yang besar, ikan hingga logam tanah jarang atau Rare Earth Element (REE) yang aplikasinya banyak untuk industri hilir berteknologi tinggi.
Menurut CFR, di Laut China Selatan memiliki sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam. Sumber lain dari American Security Project menyebutkan bahwa cadangan gas mencapai 266 triliun kaki kubik dan menyumbang 60% – 70% dari total cadangan hidrokarbon teritori tersebut.
Laut China Selatan juga menyimpan kekayaan ikan. Pada 2012, Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina menyebutkan bahwa LCS memiliki sepertiga dari total keanekaragaman laut di dunia yang berkontribusi terhadap 10% dari total tangkapan ikan di planet bumi.
Wilayah itu juga berada di jalur perdagangan strategis yang dilalui oleh kapal tanker pengangkut minyak. Menurut CFR, 50% dari total kapal tanker pengangkut minyak global melewatinya, di mana jumlah kapal tanker pengangkut minyak yang melalui Laut China Selatan, tiga kali lebih banyak dari Terusan Suez dan lebih dari lima kali Terusan Panama.
China mengklaim 80% lebih wilayah Laut China Selatan. Ini membuatnya bersitegang dengan banyak negara ASEAN, termasuk, Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei dan RI di Laut Natura.
AS sendiri masuk atas klaim “kebebasan navigasi”. Filipina juga meminta bantuan AS.
“Jika Filipina memberikan pangkalan kepada Amerika untuk digunakan selama konflik lintas selat, itu jauh lebih serius,” tambah Zhou memperingatkan.
Pada akhir April ada beberapa laporan tentang hampir tabrakan antara kapal pemerintah Filipina dan China. Termasuk satu kapal angkatan laut China, di dekat Kepulauan Spratly.
Kapal Penjaga Pantai China dilaporkan juga terlibat dalam pertemuan dekat dengan kapal patroli Vietnam. Hal itu terjadi pada bulan Maret dan Februari.
Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen pekan lalu meminta para pemimpin regional memperbarui komitmen mereka pada tatanan berbasis aturan untuk memandu interaksi di wilayah itu. Secara khusus, dia meminta China dan ASEAN untuk menyimpulkan kode etik substantif berdasarkan hukum laut international, UNCLOS soal Laut China Selatan, sesuatu yang telah dikerjakan selama 20 tahun.