Hari Raya Idul Fitri menjadi momentum bagi masyarakat Indonesia untuk pulang ke kampung halaman dan berjumpa dengan keluarga besar. Namun, momen yang seharusnya penuh makna dan kehangatan tidak jarang menjadi momok bagi sebagian besar orang, terutama bila telah memasuki usia yang dianggap sudah ideal untuk menikah bagi keluarga.
Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat milenial yang merasa takut atau bahkan enggan untuk pulang kampung demi menghindari pertanyaan “Kapan nikah?” atau “Mana, nih, calon (suami atau istri)-nya?”
Hal itu bukan tanpa alasan. Meskipun terkadang hanya sekadar basa-basi, pertanyaan seputar menikah sangatlah sensitif bagi sebagian besar orang, terutama bagi yang memiliki riwayat perjalanan sulit dalam membangun hubungan.
Lantas, bagaimana cara menjawab pertanyaan terkait pernikahan?
Psikolog sosial, Regina Navira Pratiwi mengatakan bahwa sikap pertama yang harus dilakukan oleh penerima pertanyaan “Kapan nikah?” adalah memiliki pola pikir yang netral atas pertanyaan tersebut. Ia mengatakan, penting bagi penerima pertanyaan untuk menganggap bahwa pertanyaan “Kapan nikah?” adalah pertanyaan yang sama dengan pertanyaan terkait hal lainnya. Dengan demikian, pertanyaan itu sebaiknya direspons dengan jawaban yang netral pula.
“Bila kita sudah paham bahwa pertanyaan tersebut adalah hal yang netral maka cobalah untuk memberikan jawaban yang juga netral dan objektif. Berilah jawaban yang bisa membuat kita berada di posisi yang aman,” ujar Regina kepada CNBC Indonesia, Senin (10/4/2023).
Pakar psikologi sosial dari Empathinc Psychology Center ini mengatakan, penerima jawaban tidak perlu menjawab dengan konotasi yang buruk. Sebagai gantinya, jawablah dengan meminta doa yang terbaik dari seseorang yang bertanya, seperti “Mohon didoakan saja, ya,” atau segera mengalihkannya dengan topik lain.
Regina mengatakan, berusaha untuk bersikap netral, menjawab secukupnya, dan memberikan interpretasi kesan positif melalui jawaban yang diberikan adalah cara untuk menyelamatkan diri dari hal-hal yang buruk.
“Itu adalah mekanisme pertahanan diri kita untuk bisa sehat karena pertanyaan itu, kan, kalau kita lihat secara fenomena sosial itu banyak banget ditanyakan,” papar Regina.
“Kalau kita memang tidak cerdas untuk memberikan pertanyaan yang netral, itu akan jadi masalah,” imbuhnya.
Regina mengatakan, setiap individu harus memahami bahwa orang memiliki batasan tertentu dalam bersosialisasi. Maka dari itu, ia meminta setiap orang harus bertindak secara bijak dalam berbasa-basi atau berkomunikasi, salah satunya dengan memikirkan perasaan satu sama lain sebelum berbicara.
Alih-alih memberikan pertanyaan yang mungkin bisa menimbulkan ketidaknyamanan seseorang, Regina menyarankan setiap orang yang bersilaturahmi untuk membuka topik yang menyenangkan, salah satunya adalah terkait hobi.
“Kita harus memiliki kesadaran itu. Jangan sampai kita memberikan pertanyaan yang terlalu personal. Hormatilah orang lain. Sebelum bertemu keluarga, pikirkan kembali tentang kesiapan mental seseorang yang sudah lama tidak bertemu,” imbau Regina.