Aneh, Mau Lebaran Kok Warga RI Malas Beli Baju Baru

Bimba Y Lola. (Dok. PT Trans Fashion Indonesia)

  • Minat belanja masyarakat belum melonjak pada awal Ramadan 2023.
  • Pembelian fashion dan perhiasan yang biasanya naik masih rendah menjelang Lebaran
  • Pembelian belanja barang tahan lama juga terkontraksi

Minat masyarakat Indonesia untuk berbelanja menjelang Lebaran masih rendah. Belanja fashion dan perhiasan malah turun.

Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan nilai belanja masyarakat pada awal April tercatat 136,4 sementara frekuensi orang berbelanja tercatat 160,5.

Sebagai catatan, Ramadan jatuh pada 22 Maret dan diperkirakan berakhir pada 21/22 April 2023.

Nilai belanja hanya naik 4,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, mobilitas masyarakat sudah jauh melonggar.

Selama Ramadan, pengeluaran yang naik drastis adalah kebutuhan ritel sehari-hari. Sebaliknya, barang tahan lama berkurang.

Pada pekan pertama Ramadan, pengeluaran masyarakat untuk bensin dan hotel turun sejalan dengan melandainya mobilitas dan jasa wisata.

Data MSI juga menunjukkan proporsi belanja masyarakat untuk fashion per akhir Maret 2023 atau awal Ramadan hanya 10,1%.

Proporsi tersebut lebih kecil menjelang Ramadan 2022 yang tercatat 10,6% atau periode Ramadan 2022 yang tercatat 12,1%.

Proporsi belanja masyarakat untuk perhiasan per akhir Maret 2023 sebesar 6%. Proporsi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode sebelum dan selama Ramadan 2022 yang tercatat 6,8% dan 8%.

Proporsi belanja fashion dan perhiasan biasanya akan meningkat drastis menjelang Lebaran.

Belanja masyarakat biasanya mencapai puncak pada periode Ramadan dan Lebaran. Namun, ada satu yang membedakan pada periode Ramadan tahun ini dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni inflasi.

Menjelang Ramadan (22 Maret), inflasi Februari tercatat 5,47% (year on year/yoy). Inflasi masih tinggi karena dampak kenaikan harga BBM belum hilang sepenuhnya.

Pada Ramadan 2022 (2 April-1 Mei 2022), nilai belanja tercatat 159,9 sementara frekuensi belanja tercatat 179,4.

MSI menjelaskan nilai belanja per transaksi yang lebih rendah pada tahun ini bisa disebabkan oleh semakin mobile nya masyarakat, lebih beragamnya belanja dan metode pembayaran, serta lebih hati-hatinya konsumen.

“Inflasi sepertinya membayangi akselerasi pemulihan belanja pada kuartal I-2023, hanya barang tidak tahan lama yang naik dari sisi nilai dan volume. Di sisi lain, barang tahan lama terkontraksi,” tulis Bank Mandiri Spending dalam laporannya A Brief on Latest Consumer Spending.

Sebagai catatan, inflasi Maret 2023 (year on year/yoy) tercatat 4,97%, jauh lebih tinggi dibandingkan Maret 2022 yang tercatat 2,64%.

Nilai belanja pada Januari-Maret 2023 memang lebih tinggi dibandingkan pada kuartal I-2022. Namun, secara volume, hanya meningkat tipis.

Hanya wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang tumbuh dari sisi nilai volume.

Volume yang mengecil sementara secara nilai meningkat bisa menjadi sinyal naiknya barang-barang. Pasalnya, uang yang lebih besar justru hanya menghasilkan volume yang lebih kecil.

Untuk belanja barang tahan lama, nilai dan volume belanja pada kuartal I-2023 bahkan terkontraksi masing-masing 3,6% (yoy) dan 6,5% (yoy).

Nilai pembelian barang tahan lama tumbuh 7,5% sementara volumennya 1,6% pada kuartal I-2023. Pada kuartal I-2022, nilai belanja barang tahan lama tumbuh lebih dari 20%.

Selain Mandiri Spending Index, sejumlah indikator memang menunjukkan masyarakat masih menahan belanja, salah satunya inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Maret 2023 tercatat 0,18% (month to month/mtm). Inflasi memang menanjak dibandingkan pada Februari 2023 yang menyentuh 0,16% (mtm).

Namun, inflasi terbilang sangat rendah dibandingkan periode Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Dalam enam tahun terakhir, inflasi pada periode Ramadan menembus 0,42%.

Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Maret mencapai 4,97%. terendah sejak delapan bulan terakhir.

Inflasi inti pada Maret tahun ini tercatat 0,16% (mtm) dan 2,94% (yoy). Inflasi inti tahunan lebih rendah dibandingkan pada Februari yakni 3,09%.

Sebagai catatan, inflasi Indonesia bisanya mencapai puncak pada Ramadan dan Lebaran karena melesatnya permintaan akan barang dan jasa.

Semakin melandainya inflasi inti inilah yang mesti diwaspadai. Ekonom senior Bank Central Asia (BCA) Barra Kukuh Mamia menjelaskan melandainya inflasi inti bisa menunjukkan banyak hal, termasuk melemahnya daya beli.

“Ada banyak faktor dari melandainya inflasi inti, salah satunya adalah melemahnya daya belu. Big data kami (BCA) menunjukkan pengeluaran dan penerimaan dunia usaha telah memperlihatkan penurunan sepanjang Maret,” tutur Barra, dalam laporannya Ramadan Inflation, but Without the Core.

Namun, Barra menambahkan melandainya inflasi inti pada Maret 2023 juga bisa disebabkan oleh tingginya basis perhitungan pada Maret 2022.

Data BI juga menunjukkan belum ada pergerakan signifikan terkait belanja masyarakat menjelang Ramadan.

Pertumbuhan uang beredar pada Februari atau sebulan menjelang puasa bahkan melandai ke 7,9% (yoy), dari 8,2% (yoy) pada Januari 2022.
Padahal, pertumbuhan uang beredar biasanya melonjak menjelang puasa.

Data Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan penjualan eceran pada Februari turun 1,4% (mtm) pada Februari 2023, melanjutkan kontraksi pada bulan sebelumnya.

Kontraksi dua bulan beruntun jelas tidak biasa menjelang Ramadan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*